Dari Era Orde Baru hingga Kini, Kirab Bendera Pusaka Terus Jaga Semangat Kebangsaan

Keterangan Gambar : Dua Purnapaskibraka Duta Pancasila yang juga Paskibraka pembawa Bendera Merah Putih 2024 membawa teks proklamasi dan Sang Saka Merah Putih untuk dikirab dari Monumen Nasional (Monas) menuju Istana Negara, Minggu (17/8/2025). Foto: Amiriyandi InfoPublik


indonesiapersada.id | Jakarta - Prosesi Kirab Bendera Pusaka dalam rangka HUT ke-80 Republik Indonesia kembali digelar, Minggu (17/8/2025).

Tradisi ini dimulai dari Monumen Nasional (Monas) menuju Istana Merdeka, sebagai bentuk penghormatan terhadap Merah Putih yang menjadi saksi lahirnya bangsa.

Kirab Bendera Pusaka pertama kali digelar pada 1969 setelah Monas diresmikan Presiden Soeharto. Sejak itu, setiap pagi 17 Agustus, duplikat bendera pusaka diarak secara resmi menuju Istana untuk dikibarkan pada upacara Detik-Detik Proklamasi.

Prosesi ini telah berkembang dari yang awalnya sederhana menjadi lebih atraktif. Kini kirab melibatkan pasukan pengawal, marching band, hingga simbol budaya, serta disiarkan secara langsung di berbagai media. Sore harinya, bendera dikembalikan ke Monas usai upacara penurunan di Istana Merdeka.

Kirab ini menjadi simbol perjalanan sejarah bangsa sekaligus pengingat bahwa Merah Putih bukan sekadar kain, melainkan warisan berharga yang menyatukan rakyat dalam semangat persatuan dan penghormatan kepada para pahlawan. Dikutip dari mesin pebcari chat GPT terdapat tiga era prosesi kirab bendera pusaka diantaranya:

Era 1970–1990-an: Kesederhanaan yang Penuh Wibawa

Pada periode ini, prosesi kirab Bendera Pusaka masih dijalankan dalam kerangka upacara formal kenegaraan penuh protokol.

Pasukan pengawal terbatas: Kirab hanya diiringi oleh pengawalan khusus dari aparat militer, tanpa tambahan atraksi budaya atau hiburan.
Kendaraan khusus: Bendera Pusaka dibawa dengan kendaraan yang disiapkan khusus, tanpa kemeriahan arak-arakan yang melibatkan masyarakat luas.

Akses publik terbatas: Masyarakat umum belum diberi ruang besar untuk menyaksikan prosesi ini. Acaranya lebih bersifat eksklusif, hanya dapat disaksikan oleh tamu undangan resmi, pejabat, dan aparat yang bertugas.

Atmosfer: Suasana prosesi terasa sangat khidmat, formal, dan penuh wibawa, mencerminkan pendekatan pemerintah kala itu yang menekankan stabilitas dan penghormatan simbol negara secara kaku.

Era Reformasi (1998–2000-an): Awal Keterbukaan dan Inklusivitas

Memasuki era Reformasi, wajah prosesi kirab mengalami perubahan signifikan, sejalan dengan semangat demokratisasi dan keterbukaan publik.

Ruang untuk rakyat: Masyarakat mulai diperbolehkan menyaksikan langsung prosesi kirab di sepanjang jalur dari Monas menuju Istana Merdeka. Hal ini menciptakan rasa kebersamaan dan kedekatan antara simbol negara dengan rakyatnya.

Hadirnya iring-iringan tambahan: Prosesi tidak lagi sekadar pengawalan formal, melainkan diperindah dengan kehadiran pasukan berkuda, marching band, dan kelompok seni budaya. Ini menjadi momen yang lebih meriah, sekaligus mempertegas identitas kebangsaan yang plural.

Atmosfer lebih hangat: Nuansa kirab berubah dari sekadar protokol formal menjadi perayaan rakyat yang tetap khidmat namun penuh semangat kebersamaan. Publik bisa melihat langsung, memberi hormat, bahkan ikut merasakan aura sakral prosesi.

Era Kontemporer (2010-an hingga Sekarang): Sakral, Meriah, dan Modern

Dalam era modern, kirab Bendera Pusaka semakin dikemas dengan pendekatan atraktif dan komunikatif, agar relevan dengan generasi muda dan mudah diakses seluruh rakyat.

Pertunjukan budaya: Prosesi kini dilengkapi dengan penampilan seni, parade kostum adat, hingga orkestra musik yang membalut semangat kebangsaan dalam nuansa lebih hidup.

Liputan media nasional: Setiap tahunnya, prosesi disiarkan secara langsung oleh televisi nasional dan media digital, menjadikannya tontonan massal yang mampu menyatukan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Prosesi sore hari: Tradisi baru ditambahkan, yakni pengembalian Bendera Pusaka dari Istana Merdeka kembali ke Monas setelah upacara penurunan bendera. Hal ini menegaskan siklus penghormatan: bendera dijemput pagi untuk dikibarkan, lalu dikembalikan sore untuk disemayamkan kembali.

Atmosfer masa kini: Prosesi kini menjadi kombinasi antara ritual sakral dan perayaan budaya, menampilkan wajah modern Indonesia yang berakar pada sejarah namun terbuka terhadap kemajuan.

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.

Slot Gacor