RADIO PUBLIK LOKAL TIDAK BAIK - BAIK SAJA
Opini oleh: Rita Zoelkarnaen
(Penulis adalah Wakil Sekjen 1 Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia / INDONESIAPERSADA.ID)
Hari ini, Senin tanggal 11 September 2023 hari bersejarah bagi orang – orang radio. Bagaimana riwayat lahirnya radio di Indonesia, mengapa tanggal 11 September ditetapkan sebagai Hari Radio Nasional, mudah kita cari di berbagai laman internet. Ceritanya juga tak akan berubah.
Yang berubah hanya satu, bagaimana korelasi berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 78 tahun silam yang diperingati sebagai Hari Radio Nasional dengan situasi saat ini? Terutama korelasinya dengan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) atau radio publik lokal.
Alvin Eugene Toffler tentu nama yang tidak asing bagi orang – orang komunikasi. Penulis dan futurolog asal USA ini sangat terkenal dengan teori “Siapa yang Menguasai Informasi akan Menguasai Dunia”. Jika teori ini diimplementasikan oleh orang baik maka dunia akan baik – baik saja. Informasi dalam hal ini adalah media massa
Sebelum reformasi 1998, Pemerintahan era Presiden Soeharto menguasai seluruh media massa sekaligus mem-filter apa saja informasi yang boleh diberitakan dan tidak. Radio swasta tidak boleh menyiarkan berita kecuali me-relay dari RRI. Bahkan, relay hukumnya wajib, setiap jam pula.
Dan saat itu seluruh kabupaten/kota saat itu harus memiliki radio, tak peduli punya ijin siaran atau tidak. Yang penting harus punya Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) atau Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) atau Radio Pemeritah Daerah (RPD). Tujuannya hanya satu, agenda seting informasi sesuai kepentingan rezim Soeharto hingga ke seluruh pelosok negeri.
Setelah Presiden Soeharto tumbang, kebebasan pers terbuka lebar hingga sekarang. Radio bebas menyiarkan program berita dengan berbagai varian - nya. Radio swasta tak perlu lagi relay siaran berita dari RRI.
Sejak saat itu pula, RRI menjadi pemain tunggal sebagai pelayan informasi publik di negara seluas NKRI dengan segala privilage – nya. Sedangkan RKPD atau RSPD atau RPD tidak jelas nasibnya. Lahirnya otonomi daerah pun tidak bermakna signifikan bagi radio milik Pemerintah Daerah tersebut.
Pun Undang Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang di – break down ke beberapa Peraturan Pemerintah. Memberikan ruang gerak yang leluasa bagi RRI dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), tapi tidak bagi RKPD/RSPD/RPD yang dalam Undang – Undang Penyiaran disebut sebagai Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL).
Terutama dalam hal perijinan, sangat berbelit dan jauh lebih rumit daripada radio swasta. Apalagi saat ini bentuk kelembagaan LPPL tidak terakomodasi dalam sistem OSS sehingga terancam gagal tidak bisa mengurus perpanjangan ijin, Ijin Siaran Radio (ISR) maupun Ijin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Saat ini, kerumitan mengurus perpanjangan perijinan sudah dialami beberapa LPPL.
Seperti dialami oleh LPPL Radio Benggawi FM Kabupaten Banggai Laut Sulawesi Tengah. Kesulitan serupa juga dialami oleh LPPL Radio Kenambai Umbai FM Kabupaten Jayapura Papua, dan LPPL Radio Persada FM Kabupaten Blitar Jawa Timur. Tapi untuk RRI, mengapa cukup hanya dengan surat dari Direktur Utama kepada Menteri Kominfo, perijinan RRI langsung beres?
Indonesia ini terlalu luas dan besar jika diseminasi informasi publik dengan konsep development journalisme melalui radio untuk ketahanan informasi negara hanya dilayani oleh RRI. Sedangkan LPS hanya mau beroperasi dan menguasai daerah – daerah yang memiliki ceruk pasar iklan saja. Kondisi yang bisa dipahami karena memang LPS hidupnya dari iklan.
Dan RRI pun ikut – ikutan latah dengan “merajai” 4 – 6 kanal di beberapa daerah yang dianggap ramai pasar iklannya dan tidak memberi ruang bagi lahirnya LPPL. Dengan berlindung dalam satu ketentuan bahwa jika sudah ada RRI tidak boleh ada LPPL. Sungguh sebuah kebijakan negara yang mengebiri dirinya sendiri.
Indonesia saat ini terdiri dari 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Ironisnya, saat ini belum semua daerah provinsi/kabupaten/kota tersebut dijangkau oleh siaran radio. Baik oleh LPP RRI, LPP Lokal, maupun LPS. Misalnya di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Dan masih banyak lagi daerah blank spot siaran radio di seluruh wilayah Indonesia. Ironisnya pula, tak jarang justru warga Indonesia malah lebih mudah menangkap siaran radio luar negeri.
Kondisi geografis Indonesia sangat majemuk, pegunungan, perbukitan, dataran, pantai, laut, kepulauan, perkotaan, dan pedesaan. Sesungguhnya LPPL adalah satu – satunya peluang paling efektif dan efisien bagi negara dalam menguasai informasi guna memberikan hak pemenuhan informasi yang seimbang bagi setiap warga negara di seluruh pelosok negeri.
Dengan otonomi daerah, negara sesungguhnya bisa mewajibkan setiap Pemerintah Daerah membangun LPPL yang dikelola sesuai kaidah lembaga penyiaran publik, dengan konsep development journalisme not government journalisme.
Sayangnya, kondisi LPPL atau radio publik lokal saat ini, ada tapi tidak ada. Padahal, saat pandemi Covid-19, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang memiliki LPPL sudah membuktikan bahwa LPPL adalah penjaga ketahanan informasi negara di daerah. Sayang seribu kali sayang, hingga saat ini, para Kepala Daerah pun belum mau melihat radio publik lokal sebagai kekuatan besar dalam diseminasi informasi seiring dengan otonomi daerah.
Selamat Hari Radio Nasional ke-78 tahun 2023. Radio publik lokal tidak baik-baik saja!!!
Facebook Comments