PJ. KEPALA DAERAH POTENSIAL PICU KETIDAKSTABILAN PELAYANAN DASAR

Keterangan Gambar : Sekjen Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) Baharuddin Thahir berpendapat, penunjukan Penjabat (Pj.) Kepala Daerah secara terus menerus potensial memicu ketidakstabilan pelayanan dasar di daerah. Pernyataan itu disampaikannya saat membuka webinar mingguan MIPI bertema "Mengawal Keselarasan Pilkada Serentak dengan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tahun 2024 - 2029", Sabtu (26/8/2023).* (foto: istimewa)


Editor: Rizma Erina Aini

indonesiapersada.id – Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) menegaskan, regulasi pelantikan kepala daerah pada Pilkada Serentak tahun 2024 harus disegerakan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) MIPI Baharuddin Thahir mengatakan, Pilkada Serentak 2024 sudah mau dilakukan, tetapi pelantikan belum banyak dipikirkan.

Padahal merujuk pada pengalaman sebelumnya, sengketa bisa terjadi jika pelantikan dan regulasinya tak ditetapkan. Pernyataan itu disampaikannya saat membuka webinar mingguan MIPI bertema "Mengawal Keselarasan Pilkada Serentak dengan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tahun 2024-2029", Sabtu (26/8/2023).

"Untuk itu, kepastian kapan kepala daerah terpilih ini akan dilantik sangat dibutuhkan. Apalagi kali ini pilkadanya dilakukan secara serentak di 514 kabupaten/kota," ucapnya.

Menurut Bahar, penetapan penjabat (Pj.) yang marak ditetapkan sejak tahun 2022 sifatnya hanya sementara. Pada tanggal 31 Desember 2024 nanti semua Pj. Kepala Daerah akan berakhir masa jabatannya. Jika hal ini terus berjalan di daerah, maka akan terjadi potensi ketidakstabilan. Belum lagi tugas pokok dan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan dasar bisa terhambat.

"MIPI itu menjadi pihak terdepan untuk mendiskusikan yang bisa jadi orang tidak pikirkan. Bisa jadi orang lain tak tertarik untuk membahas. Tapi masalah Pilkada dan pemerintahan itu menjadi sesuatu yang penting karena rentetan implikasinya akan panjang," katanya.

Sementara itu eks Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI Muhammad mengatakan, regulasi yang ideal dalam Pemilu/Pilkada memenuhi empat syarat. Meliputi tidak multitafsir, tidak tumpang tindih, dapat dilaksanakan, dan tidak ada kekosongan hukum.

Selain itu, Indonesia bisa dikatakan melaksanakan Pemilu secara demokratis karena tahapan program, jadwal, dan hasilnya tidak bisa diprediksi. Prosedurnya jelas dan bisa diikuti oleh semua orang, termasuk soal pelantikan.

"Pelantikan serentak ini harus segera diatur melalui mekanisme. Tadi sudah dijelaskan bagaimana dampak dan mudoratnya jika pelantikan tidak dilakukan pada waktu yang sama, tidak diatur oleh regulasi," ujarnya.

Sementara itu nggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menyebut ada isu percepatan pelaksanaan Pilkada Serentak dari yang awalnya pada tanggal 27 November 2024. Hal ini dalam rangka menjembatani potensi konflik yang terjadi setelah pilkada, termasuk soal pelantikan. Jika hal itu terjadi, maka perlu dipikirkan terkait pelaksanaan tahapan pemilu dan pilkada yang berlangsung saat ini.

"Tidak gampang menetapkannya, ada preferensi dan pengalaman pilkada di tahun lalu yang perlu menjadi perhatian," tambahnya.

Adapun Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando memberikan komentar, ketika jadwal Pilkada dimajukan semisal dari bulan November menjadi September atau Agustus, maka diperlukan langkah siap - siap dan berjaga - jaga terkait potensi persoalan yang mungkin terjadi. Jangan sampai malah menggali masalah lain.

"Potensi konflik tersebut menurutnya bisa berisiko, karena volume kerja penyelenggara Pemilu jadi dobel. Untuk itu, jika dimajukan, harus memikirkan beban kerja dari penyelenggara pemilu," tutupnya.* (rizma erina aini)

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.

Slot Gacor