PUBLIK KECEWA ATAS TUNTUTAN TERHADAP SAMBO CS, BEGINI TANGGAPAN KEJAGUNG

Keterangan Gambar : Ferdy Sambo (rompi merah), terdakwa aktor intelektual pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. (foto: LKBN Antara)


indonesiapersada.id – Jakarta: Mencermati pemberitaan di media massa terkait tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada terdakwa Ferdy Sambo dkk, publik kecewa atas tuntutan yang dinilai terlalu rendah. Kekecewaan juga mencuat di unggahan media sosial, opini dan polemik yang berkembang di masyarakat.

“Kondisi tersebut cenderung memberikan dampak negatif terhadap institusi (Kejaksaan Agung). Melalui Siaran Pers ini, Pusat Penerangan Hukum (Kejaksaan Agung) menyampaikan pertimbangan – pertimbangan hukum secara logis, yuridis dan akuntabel, yang dijadikan bahan pertimbangan oleh Penuntut Umum dalam mmbacakan surat tuntutan,” terang Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Dr. Ketut Sumedana, dalam release yang diterima www.indonesiapersada.id, Kamis (19/1/2023).

Sebagaimana surat tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/1/2023) lalu, Ferdy Sambo lolos dari hukuman mati karena JPU hanya menuntut hukuman seumur hidup. Sang istri, Putri Candrawati dituntut hukuman 8 tahun penjara. Sedangkan Richard Eliezer dituntut hukuman penjara 12 tahun, empat tahun lebih berat dari istri Sambo.

Lebih lanjut Ketut menjelaskan, pihaknya sangat menghargai berbagai komentar dan rasa empati terhadap korban dan keluarga korban. Serta para terdakwa yang selama ini berkembang di masyarakat, baik yang pro maupun kontra terhadap surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

“Penentuan tinggi rendahnya tuntutan yang dijaukan terhadap para terdakwa, mempertimbangkan berbagai persyaratan. Baik itu pelaku, korban, peran masing – masing terdakwa, termasuk latar belakang para terdakwa, dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat,” lanjut Ketut.

Penilaian tuntutan bukan saja dilihat dari Mens Rea para terdakwa. Tetapi kesamaan niat dan perbedaan peran dari masing – masing para terdakwa, menjadi pertmbangan matang dalam menuntut para terdakwa sebagaimana dibuktikan dalam Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mens Rea sendiri adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan atau niat jahatnya.

Menyimak fakta hukum yang terungkap di persidangan, Ferdy Sambo sebagai terdakwa pelaku intelektual (intelectual dader) dituntut hukuman penjara seumur hidup. Mantan Kadiv Propam Mabes Polri itu dianggap telah memerintahkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu menembak mati Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Perintah tersebut bertujuan untuk menyempurnakan pembunuhan berencana oleh Sambo. Akibatnya, JPU menuntut Richard Eliezer dengan hukuman 12 tahun penjara.

“Sementara, Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal Wibowo tidak secara langsung menyebabkan penghilangan nyawa Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Mereka sejak awal mengetahui rencana pembunuhan tersebut, tetapi tidak berusaha mencegah untuk tidak terjadi pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat,” tukas Ketut lagi.

Ketut juga menjelaskan bahwa rekomendasi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap Richard Eliezer untuk mendapatkan justice collaborator juga telah diakomodir. Terbukti dengan tuntutan terhadapnya yang jauh lebih ringan dari Ferdy Sambo sebagai pelaku intelektual. Posisi Richard adalah bawahan yang taat pada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah dan menjadi eksekutor dalam pembunuhan berencana tersebut.

Jika mencermati UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta SE MA No. 4/2011,  kasus pembunuhan berencana tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) huruf (a) UU 31/2014. Pada pokoknya, tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu. Juga sebagaimana diatur dalam SE MA No. 4/2011 antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

Sedangkan tindak pidana yang dilakukan Richard Eliezer sebagai eksekutor adalah pelaku utama bukanlah sebagai penguak fakta utama. Peran kerjasama Richard sudah dipertimbangkan sebagai terdakwa yang kooperatif dalam surat tuntutan JPU. Perannya sebagai pelaku utama yang menyebabkan sempurnanya tindak pidana pembunuhan berencana, tidak dapat direkomendasikan untuk mendapatkan justice collaborator. 

“Hal tersebut sebagaimana diatur dalam SE MA No. 1/2011, salah satunya justice collaborator adalah bukan pelaku utama,” tukas Ketut.

Menutup penjelasannya Ketut mengatakan, bahwa proses persidangan masih berjalan. Kemungkinan akan sampai pada upaya – upaya hukum ke tingkat Mahkamah Agung. Untuk itu, agar masyarakat dan media menunggu bagian akhir dari putusan perkara sehingga tidak menimbulkan polemik.*(rit’z)

Facebook Comments

0 Komentar

TULIS KOMENTAR

Alamat email anda aman dan tidak akan dipublikasikan.